Sabtu, 13 Desember 2008

ANGIN DAN MATA ANGINNYA

Angin dan Mata Anginnya

Kurasa mungkin dia orang yang paling tak beruntung. Dalam penglihatanku setidaknya. Heran. Biar kuceritakan sesuatu tentangnya.

Namanya Irsa, gadis ini gadis paling aneh di kelasku. Sudah terbukti dan teruji, ini bukan hanya perkataan sementara saja, tapi ini nyata. Aku sudah mengamatinya dari kami kelas satu. Entah apa yang membawa kami hingga tiga tahun ini takdir tak pernah memisahkan. Mungkin di perguruan tinggi nanti, ia akan beda jurusan denganku. Bukan tidak suka melihatnya, tapi kadang bosan melihat orangnya yang super nggak fariatif, nggak pernah berubah.
Ketidaksukaanku ini mungkin karena karakterku yang 180 derajat berbeda dengannya. Mungkin di mata temen-temen yang lain Irsa itu biasa-biasa saja, tapi bagiku dia itu keluar dari biasa. Bukan maksud mengejek, Irsa itu super membingungkan. Tiap hari pasti berubah-ubah, semula diam, kemudian menjadi sok pintar, lalu ke arah kekanak-kanakan, terus bermuram durja, kemudian seperti orang gila, senyuuuuum terus...
Pernah suatu kali ketika aku berkumpul dengan komplotan bermainku, kucoba utarakan uneg-unegku ini pada mereka. Ternyata yang merasakan seperti itu tidak hanya aku, mereka juga. Malah makin antusias saja ketika kami semua membicarakan si Irsa. Maka jadilah waktu itu kami penggosip berbakat. Memang benar-benar aneh anak ini. sebenarnya what happen with this people?
Saking penasarannya, kadang aku berniat mengorek sesuatu tentangnya. Tapi tidak dengan tanya-tanya ke teman sebangku atau bagaimana. Cara seperti itu jadul, jaman dulu banget, lagi pula resikonya juga gedhe, dikira naksir,,, puh!
Ampe saat ini aku mengamatinya dengan slow down banget. Alias pake unsur ketidaksengajaan. Kalo lagi tidak sengaja dapat ya sukur, tapi kok lama gak dapat-dapat,, yaa anggap saja belum waktunya untuk tahu,,

^-^ ^-^ ^-^ ^-^ ^-^

       Hari ini jam pelajaran terakhir diisi oleh guru bimbingan konseling. Ngantuk, lapar, bosan, dan rasa nggak enak yang lain menyeruak datang. Seperti sudah dapat undangan saja, bisa datang bebarengan. Aku sudah benar-benar tidak kuat mendengar suara lembut yang serasa meninabobokkan. Bukan, tepatnya lagu slow enak banget pengantar tidur,, lagu nina bobok kurasa malah nggak kan bisa mengantar tidur. Nyamuk sekarang mah nakal, nggak tidur nggak bangun darah tetap dihisap. Hati-hati anemia ya!
Mungkin karena merasa sudah tidak didengarkan, sang guru diam. Kupikir mungkin akan terus jengkel dan marah, lalu keluar kelas, dengan begitu kami semua bisa pulang lebih awal.
Ups,, tapi ternyata perkiraanku salah. Aku lupa bahwa guru yang di depan itu adalah guru BP, tentu menjadi santapan lezat baginya orang-orang sepertiku. Guru itu kemudian membagikan kertas. Aku masih meletakkan bahu dan kepalaku saat beliau sampai ke mejaku. Beliaupun melihatku dengan senyum mengejek.
“Bu,,,,” kataku.
Sang guru menoleh, lalu kusambut dengan kata “lapaaaar...”
Oalah,, mungkin hatinya bicara begitu, beruntung aku tidak disuruh berdiri di depan kelas gara-gara perkataanku. Ternyata beliau pengertian juga ya.
“Tuliskanlah, sesuatu untuk teman kalian, yang menurut kalian itu pas untuknya. Saran dan kritik tapi tidak boleh menyinggung. Setelah selesai kumpulkan kembali, jangan lupa beri alamat yang dituju.” Kata beliau sembari keluar dari kelas kami.
Aku masih bingung mau menulis apa, bagaimana, buat siapa. Saking lamanya mikir sampai hampir ketiduran. Tapi kemudian mataku terbuka, kenapa tidak terfikir olehku untuk menulis sesuatu untuk Irsa? Lalu kutulislah semua uneg-unegku tentangnya, jika tersampaikan, semoga ia dapat berubah sedikit demi sedikit.

^-^ ^-^ ^-^ ^-^ ^-^

Hari ini aku dapat jatah piket. Aneh, tidak seperti biasanya. Kalau aku mendapat tugas kebersihan aku pasti akan go out paling awal, malas mengerjakan hal seperti itu. Itung-itung memberi tugas tambahan untuk para gadis manja di kelas. Tapi hari ini lain, aku masih tinggal di kelas setelah teman-teman yang lain pulang.
“Kok tidak biasanya Gya, mau bantu kita ya?” tanya Misa membuka pembicaraan.
Aku tersenyum kecut.
“Nggak, cuma lagi survei ajah, gadis jaman skarang, pantes gak sih dijadikan istri, hehehe” kataku berceloteh menakuti mereka.
Sejurus kemudian aku sudah terduduk bak raja di singgasana guru. Perlahan aku buka laci meja besar di depanku. Ada setumpuk kertas kecil-kecil yang tidak teratur penataannya. ngGak enak dilihat, langsung kututup kembali. Kemudian aku mencoba tidur. Baru saja mataku terpejam, langsung dah seperti terkaget, terburu-buru kubuka lagi laci tadi. Dan kulihat, ada beberapa komentar temanku untuk teman yang lain. Mataku tertuju pada selembar kertas yang ditulis oleh Mirna dan ditujukan untuk Irsa.
Segera kurapikan semua kertas itu, kutumpuk dan siap ku baca. Aku hanya mencari kertas yang ditujukan untuk Irsa dan untukku. Wow,, hebat! Ada banyak ternyata yang peduli dengan anak itu, jadi penasaran, tapi yang untukku tidak ada ternyata. Segera kubaca satu persatu.

Dear : Mbak Irsa
Waduh duh em,, bentar ya,, Takutnya nanti malah ane ngoreksi mbak Irsa tapi tidak evaluasi diri sendiri,,
Mbak Irsa tuh, mungkin sekarang gi labil ya, bingung antara teman yang satu dengan teman yang lainnya. Mbak irsa gi bingung pilih kingkungan dan temen gaul. Disatu sisi pingin seperti itu tapi sulit ninggalin yang itu. Yang penting itu, Mbak Irsa yakin dech apa yang ada dalam Mbak Irsa itu berharga. Apa yang dialami Mbak Irsa sekarang, banyak juga kok yang ngalamin. Hanya bagaimana cara kita menyikapinya.

Jangan anggap diri buruk, karena ketika kita berpikir kita buruk, maka kita akan buruk. OK, yakianlah bahwa Mbak Irsa itu terbaik.

Mirna

Hmm,, kira-kira apa yang dimaksudkan Mirna ya. Aku tidak dekat dengan Irsa jadi tidak tahu banyak tentang dia. Wow teman sebangkuku yang nulis, heran...dasar orang aneh. Mungkin karena saking seringnya kuajak dia bicara tentang Irsa.

Untuk : Irsa

Kamu iku aneh yo. Dah guedhe tapi masih kayak bocah. Uduh-uduh,,,gimana to,,, Nanti malam matanya dimeremkan, trus inget-inget apa yang seharian tadi kamu kerjakan. Sebenare umurmu iku dah tua, malah lebih tua dari aku. Tapi kok sikapmu masih suka kayak anak kecil to ya,,
Kamu iku baikna belajar lah jadi orang dewasa,, gaul sama temen-temen biar tambah wawasan. Biar bisa diajarin sama mereka tentang kehidupan yang seharusnya. Yo! Gitu ae,, Bye-bye,,

Sang Pujangga Kampung


Spontan aku langsung tertawa terbahak-bahak. Waduh,, gila nia anak. Gak aneh memang, orangnya saja super medhok ndesonya. Padahal jiwanya juga lum jauh dari kampungnya. Tapi siplah dah bagi-bagi wawasan sama orang lain. Jadi tahu,, pandangan dia ke Irsa seperti itu ternyata.
Kertas selanjutnya.

Dear : Irsa temenkyu yang muanis

Wuuu,, dasar aneh! Baiknya Irsa jadi monyet ato jadi katak aja. Irsa itu harus step by step dalam menghadapi suatu problem. Jangan cepet nangisss,,, wuu dasar cengeng. Kayak siezy gini loh, always ceria, hehehe. Pikirkanlah baik-baik apa yang akan kamu lakukan jangan sampai salah langkah ya!
Siezy yang gak kalah manis dari kamu, hehe

Kertas terakhir yang agak panjang bacaanya.

Teruntuk Irsa
Irsa yang sekarang tuw terlalu terbebani dengan pikiran-pikirannya sendiri. Tidak semua yang kamu pikirin tuw jadi bebanmu sendiri loh. Ada hal-hal yang harusnya dibiarkan ja ngalir,, dengan gitu, kamu bakal sampai ke titik “diri kamu sendiri” tanpa harus di buat-buat, tanpa rus dipaksain, aku rus gini aku rus gitu.
Jangan sering sering pasang muka serius, senyum dunk, senyum. Pikiran yang dah numpuk-numpuk kenapa tak coba di bagi sama temen yang Irsa percaya. Gak harus semuanya.
Irsa dah tau siapa diri Irsa belum? Kalo belum biar kukasih tau. Irsa adalah Irsa. Irsa adalah putri dari ayah dan ibuna Irsa yang nikah tahun?? (brapa Sa? Aku gak tahu) Ups gak penting. Dah ya,,
Temenmu : Ririn

Oh yang ini dari Ririn, yaya dia sih calon psikolog, percaya dah apa yang dikatakannya. Wah ternyata banyak juga yang peduli, tidak menyangka, ternyata anak-anak di kelasku punya jiwa persahabatan yang tinggi. Hmmm,,,

^-^ ^-^ ^-^ ^-^ ^-^

Bel istirahat berbunyi. Aku menunggu Irsa keluar kelas. Hmm,, tak lama ia keluar juga, tidak tahu mau ke kantin atau ke toilet,, itu bukan urusanku, yang penting ia keluar.
Segera kumasukkan sesuatu ke tasnya. Sebuah amplop yang berisi komentar teman-teman. Tapi tidak kumasukkan kertas kecil dariku. Kurasa tulisan teman-teman sudah cukup mewakili apa yang kutulis. Aku hanya berharap semoga ia menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri dan masa depannya.
Amplop bagian depan kutulis “Teruntuk Irsa, di jalan persimpangan menuju pintu masuk masa depan”. Dan di belakangnya “mata angin”.
Dalam hati aku bersorak,, YEAH!! Setidaknya aku sudah melakukan sesuatu untuk orang lain yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

^-^ ^-^ ^-^ ^-^ ^-^

Surat itu sudah terlupakan. Entah sudah dibaca ataukah belum, entah hilang ataukah disimpan. Aku sendiri seperti amnesia. Hingga datanglah suatu hari dimana ketidakbiasaanku datang.
Iseng-iseng kembali kubuka laci meja guru tempat aku menemukan kertas-kertas kecil itu. Tidak menyangka sama sekali, onggokan kertas itu masih terkumpul bak sampah tak pernah dibuang. Iseng-iseng juga aku mengumpulkan dan merapikannya. Tanganku berhenti ketika aku menemukan sebuah amplop yang masih bersih. Dan di bagian depannya tertulis “Kepada mata angin”.
Hatiku berdebar penasaran, segera kubuka. Kumpulan kertas kecil sama seperti saat aku memberikannya pada Irsa. Tapi,, ada satu yang berbeda, kertas-kertas itu ditujukan padaku! Dan ada satu kertas yang ditulis Irsa.

Kepada : Mata angin

Terima kasih,,, aku tidak begitu tahu tentangmu, tidak begitu kenal siapa dirimu, aneh memang, padahal tiga tahun ini kita ada pada ruangan yang sama. Kita seperti ada pada jalan yang sama, jalan persimpangan yang belum kita tentukan mau pilih yang mana. Jika memang engkaulah mata angin maka arahkanlah angin-angin yang lain menuju masa depan mereka masing-masing. Terimakasih,, mari kita jalani kehidupan ini dengan penuh keyakinan, saling bantu dan saling berbagi,,
Angin


Ngayojokarto 26JL08_18.19

SEBUAH KEBODOHAN

SEBUAH KEBODOHAN

 

Aku berjalan pulang dengan lunglainya. Kakiku teras berat untuk melangkah, alas kakiku seperti terbuat dari baja yang dipakai untuk maju perang. Sebuah buntalan di punggungku pun terasa lebih berat dari biasanya, sehingga aku tak mampu untuk berdiri tegap menatap lurus ke arah depan. Bahkan aku seperti orang bongkok yang lemah tak berdaya, menatap ke bawah ke tanah coklat yang secoklat kulitku. Mungkin juga itu sebuah isyarat untukku, pada diriku yang seperti bunglon, yang selalu berubah, tanpa punya pendirian yang tegas, tanpa mempunyai sebuah prinsip hidup yang pasti.
Pikiranku melayang, membayang mengikutiku di belakang. Terserap dalam bayang hitamku yang tercipta karena cahaya. Seharusnya pikiran dan hatiku menyatu dalam jiwa dan melahirkan sesuatu yang berharga bagiku, dan untuk orang lain. Tapi tidak! Ia terserap dalam bayang-bayang hitam yang kadang-kadang dekat, menjauh, dan bahkan hilang dariku. Seandainya cahaya itu berbaik hati padaku,,, sayang ia bukan milikku.
Aku masih tetap berjalan menuju rumah, entah jalan itu lurus ataukah membelok, yang kutahu hanya tanah coklat yang secoklat kulitku. Pintu yang kutuju belum terlihat juga. Ah! Apa aku berjalan selambat siput??
Kumasuki rumah ini, tentu dengan rasa yang lain dari biasanya. Bukan dengan keceriaan sambutan adikku yang meminta oleh-oleh, bukan dengan rasa lelah yang siap kutumpahkan pada televisi di ruang makan, bukan juga rasa kecewa yang siap tercurahkan pada orang terkasihku. Tapi dengan rasa takut, dengan air yang mengumpul di pelupuk. Meski begitu, meski dengan kepala tertunduk, kuulakan senyum seperti biasanya. Dan dari sudut pandang yang amat terbatas, kulihat dan kurasa sambutan yang masih seperti biasanya. Hanya tak ada semangat dalam sambutan itu. Fiuhh...
Aku sadar dimana letak kesalahanku. Yang tidak kutahu tentang diriku, meski aku sadar, aku slalu mengulang hal yang sma. Tidak hanya sekali bahkan, berulang-ulang malah. Dan itu kulakukan dengan mata yang benar-benar terbuka, pikiran yang benar-benar milikku, hanya tidak ada prinsip yang jelas.
Aku membuka pintu kamarku, terlihat masa laluku di kamar ini. ketika aku berusaha, berjuang untuk meraih apa yang kuimpikan, ketika aku menangis tersedu mengharap yang telah hilang akan segera kembali, ketika aku tertawa bersama saudara-saudaraku, setelah sang adik menangis karena perkelahian kami, dan.. ketika kakekku tersenyum sambil serius menghibur dan menasehatiku. Tentu saja dengan kebiasaannya, mengelus-elus telapak kaki. Sedikit sunggingan senyum kecewa terulas pasrah...
Di kasur yang tak lagi empuk ini aku merebahkan diri. Melihat ke langit-langit, ke arah genting yang dihiasi cawang dan sedikit sarang laba-laba. Kejenuhan, kehampaan, dan kekosongan juga ada di langit itu. Kupejamkan mataku, dan kegelapan itu semakin dekat kepadaku. Aku rasakan beban berat di hati, pikiran, masa depan dan cita.
Dalam keadaan seperti ini, aku tak selalu punya pikiran “Ayo! Sekarang kerjakan, untuk memulai dari awal dan menghasilkan yang baru”. Tidak! Yang terbesit hanyalah bayang masa lalu, bayang kebahagiaan yang sekarang berubah total.
Aku masih ingat ketika aku mempunyai konflik hati untuk pertama kalinya. Saat itu aku benar-benar hancur entah seperti apa. Kupikir sudah tidak ada lagi kepingan hati yang bisa kusulam. Hanya rasa sakit dan penyesalan yang tiada guna yang ada. Hanya tangisan yang menghibur. Ketika itulah aku bisa merasakan seorang beliau hadir mencoba menyelami diriku yang tidak stabil. Menasehatiku dengan senyumnya yang khas. Bahkan tertawa! Aku tahu maksudnya, supaya aku mengikutinya tertawa. Saat itulah aku baru benar-benar menyadari apa arti mereka ada untukku. Yang masih kuingat benar beliau pernah bilang seperti ini “Sebesar apapun masalah, sebesar apapun resiko, keluarga akan slalu ada untuk membantu”.
Bersitan saat-saat itu mengundang arus yang deras muncul di atas pipi. Setelah apa yang mereka berikan padaku, apa yang kuberikan pada mereka? Sebuah kekecewaan! Inilah beban beratku. Aku tak bisa penuhi kewajibanku untuk memberikan kebahagiaan dan kebanggaan.

##### ##### #####

Kemarin, ketika aku pulang, adalah hari terakhirku berguru ilmu kebanggaan dunia, ya! ilmu-ilmu yang dipelajari untuk mendapatkan angka pintar dan jenius. Dan hasilnya, sungguh membuatku membelalakkan mata dan berfikir “Sebegitu bodohnyakah aku?”. Terlebih lagi inilah yang membuatku tak berani menatap beliau yang telah sekian tahun banyaknya menyerahkanku di lembaga ini.
‘Kakek, maafkan aku’ itu yang selalu ingin aku ucapkan padanya. Tapi itu tidak mungkin, karena melihatnya aku sudah lemah, merasa bodoh, tak berguna.
Aku hanya memberikan kekecewaan yang teramat sangat. Meski hanya perasaanku yang mengatakan seperti itu. Aku di kembalikan lagi ke rumah ini, rumah yang telah lama kutinggalkan.

##### ##### #####

gelap dan terang sudah kurasakan di rumah ini. aku mencoba menghindari beliau. Sungguh aku merasa tidak pantas. Dalam perasaan yang seperti itu, aku masih melihat beliau berbincang dengan tetangga belakang rumah, ah... masih seperti kakekku yang dulu. Yang menasehatiku dengan mengelus-elus telapak kakinya.
Apakah ini hanya prasangka burukku terhadap beliau? Jika benar, sungguh berdosa diri ini. beliau pernah berkata ‘Ilmu tak diukur dengan nilai’. Beliau juga pernah berkata ‘Bagaimanapun juga kaulah harta berhargaku’. Lalu sebenarnya apa yang kutakutkan? Yang kucemaskan? Yang kurisaukan?
Justru itulah, aku merasakan memberikan beliau sebuah tamparan kekecewaan yang begitu hebat.
Bodohnya aku tak mengerti-mengerti!
Bodohnya aku tak paham-paham.

##### ##### #####

Dengan hati yang masih begitu banyak kegalauan, kericuhan, dan kegelapan yang lain. Aku berusaha mendekati beliau, memberikan pengabdianku, hormatku, setidaknya untuk memperbaiki dan mencoba dari asal kembali. Beliau sedang sibuk menuliskan sesuatu. Aku menghampirinya dan mencoba memancing-mancing pembicaraan.
Tidak lama, suasana mencair sudah. Tak kusadari, seorang kakekku banyak berbicara, bahkan kadang-kadang tertawa lepas menertawai apa yang beliau ceritakan sendiri. Aku hanya tersenyum, ada sedikit kelegaan di ulu hati. Semakin lama aku mendengarkan, sadarlah aku apa yang beliau perbincangkan. Sesekali dua kali kulemparkan pertanyaan, setidaknya untuk mengisyaratkan beliau bahwa cucunya ini nyambung dengan obrolannya.
Yang begitu mengejutkanku, ketika beliau mengatakan kabar gembira ini kepadaku. “Cucunya temannya kakek yang dulu sering main sama kamu, pagi tadi terbang ke luar negeri. Dapat tugas dari negeri”.
Aku tersenyum mendengarnya. Aku hanya dapat mengatakan “Oh ya, benarkah! Hebat ya!”. lalu aku beringsut dan segera berpamit tuk pergi sebentar ke luar rumah.
Jalan setapak di belakang rumah.
Aku berjalan saja menyusurinya. Mungkin itu tadi kabar gembira, tapi bagiku, kakek mengatakan seperti itu sama saja seperti mengatakan “Coba lihat dirimu, kenapa masih di sini?”. Tentu saja artinya sama. Bodoh! Kembali sudah aku merasakan kegetiran. Sama dengan perjalanan waktu aku pulang. Bahkan lebih dari saat itu. Karena aku mendengar dengan telingaku sendiri, bahkan tepat di hadapanku, dan itu adalah kakekku yang begitu ingin aku bahagiakan. Sedang apa yang terjadi padaku? Berjalan lamban tanpa arah pasti. Menyesali apa yang seharusnya tak disesali. Bukan berusaha hidup untuk menjadi yang lain, tapi hanya mengingat masa sinar yang sudah tak kutemui.
Biarlah orang bodoh ini berjalan. Biarlah orang bodoh ini mencari kebodohannya. Biarlah orang bodoh ini mencari apa yang sedang dicarinya. Biarkan!


Ngayojokarto
05JL07-19.55

DIA

DIA

Aku masih saja menatapnya lekat. Tak peduli dengan salah tingkahnya. Bukankah itu hal yang lucu? Yang bisa membuatku tertawa di hadapannya. Setidaknya aku bisa membuat pipinya terlihat memerah dan mukanya yang cemberut karena jengkel melihatku tersenyum-senyum.
Dia kemudian menjadi sok sibuk, ngerjain inilah-itulah, pokoknya apa saja yang bisa menyembunyikan roman mukanya dari penglihatanku. Tapi aku tak semudah itu terjebak, aku tetap melihatnya sampai ia benar-benar tak tau lagi apa yang harus menjadi kesibukannya. Mungkin karena saking bingungnya, dia akhirnya balik menatapku.
“Mengapa masih saja melihatku?” katanya padaku dengan mukanya yang dibuat agak serius.
Hmmm... menurutku ini justru kesempatanku untuk menjurus ke arah matanya. Kutatap dia. Dan ketika aku melihat sedikit senyuman yang coba untuk di tutupinya, aku tak kuat lagi menahan. Aku tertawa agak tersengal. Dan dia pun ikut tertawa juga. Mungkin juga mentertawai cara tertawaku yang sudah agak kuno. Sudah aneh dan tak menarik. Tapi kenapa mesti tertawa? Bukankah dia sudah hafal dengan gaya tertawaku yang menjadi santapan tiap harinya?
Kubilang “ Dasar!”
“Tidak maukah bercerita?” tanyaku.
“Gak!” jawabnya dengan kejengkelan.
Hmmm... sabar... kataku dalam hati. Menghadapi anak yang sedang seperti ini aku mesti punya hati baja.
“Yakin?” aku kembali bertanya.
“Yakin!!!” jawabnya dengan sengol.
“Bagaimanapun juga sesuatu tentangmu dapat kuketahui dengan mudah. Aku mengetahui seluk beluk tentangmu, bagaimana perubahanmu dalam menuju kedewasaan ini. aku mengetahuinya dan bahkan aku bisa menjadi saksi. Jika kau ragu tentang dirimu dan keraguan itu kau tanyakan padaku, mungkin aku bisa menjawabnya. Percayalah... bahwa aku mengetahui banyak tentangmu dibandingkan engkau mengetahui dirimu sendiri” celotehku kepadanya.
“Ya..ya..ya terimakasih untuk nasehatnya, aku tahu siapa diriku, kuakui aku memang belum dewasa dalam hal ini. masih terlalu kekanak-kanakan dan mudah ditebak,,yakan?” katanya dengan sewot.
Aku tersenyum mendengarnya. Aku yakin, aku bisa memahami hatinya. Aku sadar, dia adalah lelaki yang berkepribadian. Dan sulit untuk menceritakan hatinya kecuali dengan sesamanya yang sebaya. Tidak denganku yang perempuan. Hmm,,, tapi apa salahnya? Akukan mengetahui semua tentangnya.
Oh ya! aku tahu bagaimana sifat seorang lelaki, setidaknya dia yang sekarang ada di hadapanku. Bagiku –yang mungkin dalam benak pikirannya- akulah yang terdekat dengannya. Terlalu kepedean tidak ya?
Tak apa. Bukankah itu malah akan membuat mukaku memerah dan kelihatan lebih muda? Hm..
“Jatuh cinta dengan yang lain?” aku memancing.
Waaahhh reaksi yang tidak kuharapkan, semula kukira ia akan berjingkrak kegirangan atau malah menyangkal pikiranku. Dia justru diam sejenak dan tak bergeming. Aneh bukan? Kemudian dia berbalik kearahku, dan dengan ekspresinya yang tanpa ekspresi dikatakannya sepatah kata ini “Entahlah...”.
Huuuh... apa yang harus aku lakukan? Aku menjadi bingung dengan jawabannya yang bagiku meragukan. Sepeti mengiyakan dan menidakkan. Sekecap kata itu membuatku tak dapat berucap lagi. Lidahku menjadi kaku untuk berkata.
“Bagaimana jika seandainya aku jatuh cinta lagi?”tanyanya dengan pandangan menerawang.
“Tak apa!” jawabku.
Dia mengerutkan dahinya. Memandang kearahku dengan roman muka yang terheran-heran.
“Tak apa?” tanyanya mengulang jawabanku.
“Yah tak apa, kenapa? Ada yang aneh? Manusia berhak mencintai dan dicintai bukan? Dan cinta itu datang tidak mengenal waktu, usia materi dan yang lain-lainnya.” Jelasku.
“Begitu? Kenapa bisa berkata seperti itu?’tanya kembali.
“Pertanyaan itu akan kujawab nanti setelah ini semua sudah selesai, OK?”kataku dan kemudian menynggingkan senyuman.
Sepertinya dia agak mencibir. Menyebalkan sih. Tapi tak apa. Setidaknya ini bisa membuatnya berfikir karena penasaran dngan perkataanku.
“Memang wajar kalau orang jatuh cinta, tapi aku merasa... ah! Sepertinya aku tak pantas lagi dicintai seseorang. Aku sudah terlalu membuat kecewa yang dahulu. Padahal dia sangat menyukaiku. Akunya saja yang terlalu bodoh! Hingga luka itu kutorehkan di hatinya. Tragis bukan?” dia mulai berbicara.
Kenapa dia memulai ceritanya? Itu pertanyaan yang ada dibenakku sekarang. apa dia memulai membuka hatinya padaku/ sepertinya pancinganku mendapatkan ikan...
“Kamu merasa bersalah padanya?” tanyaku.
“Ya pastillah!!” bentaknya.
o.oo aku sudah membuatnya emosi dengan pertanyaanku yang sudah tentu jawabannya. Tapi aku tahu, dalam hatinya dia tidak ingin lakukan itu, dan di pasti menyesalinya. Karena aku juga tidak seharusnya mendapatkan bentakan itu.
Keadaan menjadi hening. Aku menggeser dudukku dedikit ke kanan mendekati lengan kursi. Karena punggungku sudah terlalu capek untuk bersandar. Sedikit bersuara pelan.
Dia membuang nafasnya. Raut mukanya menjadi aneh.
“Maaf” katanya pelan.
Dan aku tersenyum menyambut kata itu.
“Tak apa, wajar..” kataku lembut.
Suasana kembali hening. Ruang tamu yang kecil ini sepert tak mampu mempertahankan kami. Almari yang besar dan penuh kaca itu memberitahukanku bagaimana kebingungannya orang yang ada di hadapanku. Matanya tak henti-hentinya mengarah ke bawah.
“Kenapa denganku? Kenapa aku masih saja kekanak-kanakan?” dia membuka pembicaraan.
“kau akan lebih merasa kekanakan lagi jika membandingkannya denganku” jawabku GR.
“Kembali ke permasalahnmu, kau menyukai seseorang dan kau merasa tak pantas menyukainya? Karena kau berfikir kau hanya akan memberikan kekecewaan kepadanya? Begitu?” tanyaku dengan seolah-olah bergaya seperti moderator.
“Ya” jawabnya dengan kabut kekecewaan.
Aku manggut-manggut mencoba memahami dan mencari solusinya.
“apa aku boleh menerima kasih sayang?’
“Kenapa tidak?”
Dia menatapku tajam. Seolah-olah dia tak setuju denganku. Apa aku telah salah berbucara?
“Gini, pertanyaan ini sungguh-sungguh ya! jadi di jawab dengan hati yang pada kenyataannya adalah rasa yang kau rasakan” kataku memecah ketegangan.
“Okey”
“Didalam hatimu ada cinta bukan? Dan kamu memulai usiamu dengan sebuah cinta untuk gadis yang engkau sukai, benar begitu?”
“Ya”
Aku menghela napas.
“Apa kau ingin jadikan ia sebagai ibu dari anak-anakmu kelak?” kataku agak serius.
Dia diam.
“Aku ingin ia jadi pendampingku yang abadi” katanya
“Kau yakin gadis itu jodohmu?” tanyaku kembali.
“Tuhan yang berkehendak, doakanlah aku, karena aku tahu, doa darimu pasti terkabulkan”
Amiiin...
“Bagaimana?’.....”pendapat” dahinya terkerut.
“Tak apa, aku dukung kok. Bagiku jika itu benar-benar cinta, suci, darimu dan darinya, tak ada yang memaksa untuk ‘tidak’!” kataku berceramah.
“Tak puas aku dengan jawaban itu” katanya sadis.
Aku menahan tawaku, dan sedikit kututupi mulutku dengan telapak tangan supaya tidak terlihat tertawa.
“Seriuuuuuuuussss” katanya pelan.
“Iya iya, yang penting jangan pernah sekali-kali menghianati perasaan hati ya, karena hanya diri yang akan sengsara. Tantangan paling sukar dalam hidup itu adalah mencari orang yang tahu segala kelemahanmu dan kekuranganmu, tapi ia masih sanggup menyayangi dan mencintai dengan sepenuh hati” begitulah kiranya aku berbicara.
Orang yang ada di hadapanku kini tersenyum.
“Aku heran, padahal kita tak sehati, tetapi kenapa (tangannya menunjuk kearahku) dapat mengetahui semuanya? Seolah olah sudah berpengalaman” dia mulai penasaran.
“Karena bagiku kamu itu masih anak-anak, sedangkan aku...” perkataanku terpotong.
“Yayaya aku tahu, tapi aku ingin jawaban yang serius. Kenapa dapat berkata seperti itu?” katanya dengan sepertiga roman penasaran sepertiga roman terheran heran dan sepertiga roman muka kebingungan.
Sebelum aku sempat menjawab, terdengar deru motor masuk ke teras depan. Aku tersenyum. Laki-laki yang menaiki motor itu membuka helmnya dan segera masuk ke tempat kami yang berpintu telah terbuka.
“assalamualaikum..” salamnya.
“Waalaikumsalam..” kami menjawab bersamaan.
Aku kemudian menjawab bersamaan, meraih tangannya dan segera mencium punggung tangan itu. Lalu aku berbalik ke arah oarang yang menjawab salam bersamaan denganku. Lalu...
“Aku dapat berkata seperti itu, karena aku juga juga pernah dicintai dan dicintai..” kataku dengan menatap laki-laki yang ada disampingku.
“Oalahh..sama ayah toh..’katanya dengan bibir yang mencibir.
Kami pun tertawa berbarengan... sedangkan suamiku masih kebingungan menghadapi kami.
Aku bergeleng-geleng menyebalkan...


Ngayojokarto
17F07_19.44

Berkawan IT untuk Kemajuan

Judul                : Teknologi Informasi dan Fungsi Kepustakawanan Penulis              : Rhoni Rodin Penerbit            : Calpulis ...