Selasa, 23 Maret 2010

Aku Ingin Menjadi Lelaki



--> -->

Aku Ingin Menjadi Lelaki

Oleh : Uswatun Hasanah

Baru-baru ini surat kabar sering menuliskan mengenai penelitian seks bebas yang sangat merugikan bagi kaum perempuan. Dari berbagai sumber yang kubaca, menyebutkan bahwa para lelaki itu tak memenuhi tanggung jawabnya sebagai si pelaku yang tertuduh. Entah itu dilakukan atas dasar suka sama suka atau karena terpaksa. Tak banyak yang peduli.
Hatiku terusik ketika membaca ada yang melakukan penelitian serupa dengan titik focus riset perhatiannya adalah pihak lelakinya. Karena biasanya yang menjadi focus tersebut adalah perempuan. Maka hal ini tampak aneh dalam pikiranku. Mungkin akan menjadi penemuan yang hebat. Semoga.
Pada dasarnya keterusikkanku bukanlah berpangkal pada hal tersebut. Memang sejak lama sudah terpikirkan… bahwa ada sesuatu yang tak di ketahui dari seorang lelaki. Sesuatu hal yang sepertinya akan sulit dipahami oleh seorang perempuan. Karena perempuan memiliki 90% perasaan dan lelaki memiliki 90% logika. Amat kontras. Tapi inilah yang menjadikannya berjodoh. Tuhan memang sangat lihai dalam menciptakan suatu keanehan yang akan lama kita pikirkan.
“Buleh kutahu apa yang menjadi ciri khas perbedaan lelaki dan perempuan?” tanyaku pada salah seorang kawan lelaki.
“Mau buat apa_e, rahasia donk.” Jawabnya sekenanya.
“Ehm.. Ehm.. mau buat menaklukkanku po?” tambahnya.
“Yeee kepedean! Ini demi terciptanya sebuah kedamaian dunia! Biar perempuan tak kalah dengan laki-laki dan laki-laki tak ngalah sama perempuan!” Loh kok…
Kami tertawa bareng..
“Laki-laki itu sering berantem. Tapi itu sebuah keakraban. Laki-laki juga dekatnya sama bapak. Apalagi ya… gak taulah..” jawabnya dengan sedikit mendeskripsikan dengan dibarengi ekspresi yang menurutku –sangat tidak meyakinkan-.
Aku hanya mencibir saja. Kenapa tadi harus bertanya dengan orang yang nggak jelas memberi pendapat atau menambah pusing.

*** *** ***

Seperti kalimat yang sering terdengar. Bahwa kita tak dapat memahami orang lain jika tak menjadi orang lain tersebut. Selama ini, sungguh begitu bingung memikirkannya. Karena terkadang begitu egois memaksakan apa yang dirasakan sendiri. Tak mau tahu dengan logika laki-laki. Tapi, bukan berarti menjadi penganut.
Pernah suatu ketika, melihat seorang teman yang pada dasarnya sedang berhadapan dengan cinta pertamanya. Pada saat yang bersamaan ada seorang teman yang dapat dikatakan lebih cantik. Ada suatu tingkah aneh yang seolah-olah menyiratkan –hendak pilih yang mana-. Jika teringat akan hal itu, hanya akan muncul dua kata. Kok bisa…Maka jawabannya adalah, aku ingin menjadi lelaki.
Kemudian ketika menjelajahi sinetron Indonesia dan Luar Negeri yang tayang secara berkala. Dan melihat cerita cinta. Bagaimana cinta itu bisa terjadi. Mengapa bisa terjadi. Mengapa harus mengejar. Mengapa harus orang yang diinginkan. Mengapa harus berkorban. Jawabannya hanyalah… aku ingin menjadi lelaki!
Pernahkah mendengar tentang sebuah nasehat dari seorang yang sudah berusia? Pandangannya terhadap suatu hal, tak dipandang dari sebelah mata saja. Heran sungguh heran. Bagaimana ia bisa menemukan berbagai banyak pandangan hanya tentang satu hal saja? Seperti dampak tak hanya positif dan negative. Bahkan lebih. Jawabannya hanya satu juga. Aku ingin menjadi lelaki.
Ada lagi, tentang kasus sebuah kemalasan. Pandangan bahwa pekerjaan perempuan lebih baik daripada lelaki. Diperkuat dengan penglihatanku yang menyatakan bahwa lelaki jika masuk kelas terlambat. Apakah itu memang terlambat, diperlambat, dibuat terlambat, atau memang dasarnya begitu? Jawabannya satu. Aku ingin menjadi lelaki.

*** *** ****

Hari "H" semakin dekat saja. Penelitianku tak kunjung usai juga. Riset sangat menyulitkan. Proses wawancara tak bisa maksimal. Logika tak berjalan. Akankah sempat dikirim ke panitia lomba? Semoga. Hanya semoga saja.
Seandainya aku bisa. Aku ingin menjadi lelaki. Setidaknya untuk menyelesaikan penelitianku. Sehingga kudapatkan sebuah kesimpulan. Dan tak membuatku banyak berpikir. Atau jika bisa, hingga penelitianku mendapatkan sambutan yang begitu hebat oleh dunia. Dibukukan. Dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Fiuh… Kutarik nafas putus asa. Mencoba menguntainya menjadi gairah semangat lagi. Bersama mimpi yang sedang melambai, mencoba mengajakku untuk berlari…

Ngayojokarto
23MAR10_23.10

Kamis, 18 Maret 2010

Betul - Betul - Betul


--> --> --> -->

Betul – Betul – Betul

Cerpen : Uswatun Hasanah

Pada dasarnya aku bukanlah seorang yang pemarah, cuma kadang … emosian, itupun hanya sedikit. Aku juga bukanlah seorang yang begitu kejam, melainkan penyayang anak-anak. Maklumlah dua adikku yang kecil-kecil menuntutku untuk selalu mengalahkan diri sendiri.
Yang menjadikanku tidak habis pikir, adalah ketika anak-anak memanggilku…
“Kak Roooooos……” Nah Lo.
Aku mendesah di belakang meja. Telingaku sudah cukup sebal mendengar panggilan yang bukan namaku namun dipanggilkan untukku. Dasar anak-anak, harus bagaimana aku menanggapinya.
“Kak Ros, gak bisa gambar pohon, dicontohin dulu...” rengek Mira, muridku yang paling manja.
Berjalan aku ke arah blackboard dan mulai menggambarkan sebatang pohon yang begitu sangat simpel. Menjelaskannya sebentar dan memberikan tambahan gambar yang berhubungan dengan lingkungan manusia.
“Jika sudah selesai, langsung dikumpulkan ke depan ya” kataku pada keduapuluh muridku.
Baik cek_gu! Itulah jawaban mereka serempak.
Demam Upin-Ipin menjadi sungguh ngetrend dikalangan anak TK. Dibawah TK malah. Heran, kenapa stasiun TV tidak mengetrendkan serial kartun milik negeri sendiri. Malah membiarkan calon pemimpin bangsa mengetrendkan produk Negara lain. Tak lain juga diriku, yang begitu mengidolakan Jepang.
Baru seminggu diriku mendapatkan tugas mengampu TK. Mendampingi mereka menggambar dan mewarnai. Memang tidak begitu melenceng dari yang selama tujuh tahun kupelajari. Tiga tahun di SMA khusus seni rupa, dan empat tahun mengambil jurusan menggambar di perguruan tinggi. Tetapi, apakah harus terdampar di dunia TK?
Tak kubayangkan sebelumnya akan menghadapi anak-anak yang begitu mudahnya menangis. Cita-citaku adalah menjadi seorang pelukis terkenal sekelas Affandi dan akan memarkenkan lukisanku di sebuah bangunan khusus. Seperti Affandi, seperti Affandi, dan seperti Affandi. Itu jika sisi nasionalismeku sedang bergairah untuk memunculkan diri. Jika sedang kontra, cita-citaku adalah menjadi komikus terkenal sekelas Aoyama Gosho, Masashi Kishimoto, atau Hiroyuki Takei dengan Saman King-nya. Tapi memang sangat sulit menciptakan karakter baru yang akan bisa disukai bangsa sendiri dan bakal ngetrend sampai keluar negeri.
“Kak Ros, ini gambar Lina ya” katanya sambil tersenyum semanis-manisnya.
Aku membalasnya dengan mengelus rambutnya yang sedikit. Teman-temannya kemudian saling berlomba cepat-cepatan mengumpulkan gambar. Sungguh lucu tingkahnya. Senang melihatnya, tapi sebal jika memikirkan takdirku yang terdampar di TK. Terlebih dengan mendengar kata “Kak Ros” setiap hari.
Semua ini berawal ketika aku sendiri dengan senang hati berkenalan dengan para anak TK ini. Karena ingin lebih akrab, kurelakan diri ini bercerita tentang pribadi, teman, hobi, dan lain-lain. Ketika menceritakan tentang anggota keluarga, dan mengatakan punya dua adik laki-laki, anak kecil di tengah langsung berdiri dan mengatakan “Kak Ros” dengan begitu kerasnya. Teman-temannya melihat ke arahnya. Dan akhirnya? Berlanjut hingga sekarang inilah. Nama keren dan baik pemberian orang tua tak lagi berlaku disini.
Aku pulang dengan membawa keduapuluh gambar milik anak-anak.

&&& &&& &&&

Kak Ros yang merupakan kakak Upin dan Ipin dalam pikiranku adalah kakak yang ditakuti oleh adik-adiknya karena suka marah. Yang menjadi beban psikologiku adalah sebuah pertanyaan apakah aku juga mempunyai persamaan karakter dengan Kak Rosnya Upin Ipin? Padahal aku menghadapi anak TK, dituntut sabar dan menyenangkan. Ah, heran.
Sore ini aku tertidur dengan pikiran aneh dan sayup-sayup mendengar percakapan Upin dan Ipin di televisi yang tengah ditonton adik-adikku. Gambar-gambar yang baru saja kuperhatikan satu persatu tertmpuk dipinggir kepalaku.

&&& &&& &&&

“Selamat pagi anak-anak” sapaku pada mereka.
“Selamat pagi Bu Kak Ros” jawab mereka.
Aku mencoba menahan tawa. Lucu sekali. Cobalah bayangkan dan dengarkan dengan seksama. Itulah anak-anak.
“Hayo… panggil dengan nama yang benar. Bu Mina” kataku menanggapi.
“Selamat pagi Bu Mina” kata mereka serempak.
“Bagus… Rasanya ibu lebih senang kalo dipanggil Bu Mina” tambahku dengan gaya men-dolan-i anak-anak. Gayaku yang kekanak-kanakan sepertinya memang cocok.
Kuberikan kertas gambar berukuran setengahnya A4. Dan kubebaskan anak-anak berekspresi. Terserah mereka akan menggambar apa. Seni menggoreskan pensil akan tampak lebih indah jika pikiran senang.
Hari ini anak-anak tak banyak memanggilku, mungkin susah mengubah lidah dari Kak Ros menjadi Bu Mina.

&&& &&& &&&

Hatiku bersorak gembira bukan kepalang. Aku mendapatkan pekerjaan baru yang lebih menantang. Lebih membakar jiwa seniku. Menjadi pendesain gambar untuk kain yang akan di produksi.
Seminnggu ini aku telah absent di TK untuk pembekalan pekerjaan di pabrik. Rasanya kegiatanku tak surut-surut. Mungkin inilah yang dinamakan api semangat. Aneh juga rasanya, ketika di sela-sela kesibukan itu tidak mendengar ocehan anak-anak tentang Kak Ros dan Bu Mina. Mungkin inilah yang dinamakan kangen.
Hari ini kusempatkan datang ke TK, sekedar menengok keadaan. Hari berlatih drum band dan tentu saja memakai pakaian bebas. Mataku berkedip-kedip ketika melihat sebagian besar kaos yang mereka kenakan adalah bergambar Upin Ipin. Rasanya seperti bertemu keluarga. Aneh memang.
        Aku duduk saja memperhatikan. Bukan ahlinya. Tak bisa berbuat sesuatu. Seorang anak melihatku, dan entah secara otomatis atau tidak mulutnya mengucapkan kata “Kak Ros”. Anak-anak yang lain melihat kearahnya dan kemudian melihatku. Kulambaikan tanganku.
Ada satu hari dari enam hari untukku libur di pabrik. Hari itulah aku menjadi guru gambar di TK.
“Kak Ros, gambar ini udah betul belum?” Tanya Sita murid yang paling susah menggambar.
“Betul-betul-betul” jawabku.
Sepertinya akupun sudah terjangkit demam Upin dan Ipin.

Ngayojokarto
18MAR10_23.13

Minggu, 14 Maret 2010

Tikus Mati di Lumbung Padi, Pustakawan Gugur dalam Koleksi


-->
-->
-->

Tikus Mati di Lumbung Padi, Pustakawan Gugur dalam Koleksi


( Inspirited by “Libri di Luca” novel tentang perkumpulan rahasia pecinta buku )
Oleh : Uswatun Hasanah



Syok!!! Hampir tak bisa bernapas Luka ketika itu. Untuk beberapa menit ke depan, matanya kosong menatap sesuatu yang entah apa, nafasnya mulai terengah-engah tidak karuan. Wajahnya menyiratkan perasaan takut. Dan dengan setengah berlari ia meninggalkan kamarnya menuju taman depan rumah. Purnama nampak tersenyum malam itu.
Hening. Hanya terdengar derit ayunan yang dinaiki olehnya. Suaranya sungguh menyayat. Bagi orang yang tak pernah mendengarnya mungkin akan terdengar bak jeritan hantu penasaran. Namun bagi Luka, hal tersebut justru nyanyian paling bagus di malam itu.
Ketenangan malam membuat pikirannya kembali normal. Luka mulai menelisik apa yang terjadi olehnya. Bayang-bayang pikirannya mulai berkelebat seperti film kartun yang sedang ditayangkan.
Kemarin, begitu bahagianya Luka ketika menemukan sebuah buku yang dirasanya paling keren. Sebuah buku yang menceritakan tentang kehidupan para pecinta buku. Pecinta buku yang hanya tidak pecinta buku, namun pecinta buku yang mempunyai kemampuan misterius. Libri di Luca. Begitulah sampul buku tersebut memberitahukan.
Malam ini, baru saja ia membuka halaman bab pertama untuk menghilangkan rasa penasarannya, tapi Luka begitu syok! Luca Campeli. Tokoh pertama yang disebutkan dalam novel itu mempunyai kesamaan nama dengan Luka. Antara Luka dengan Luca. Pertama Luka begitu bahagia mempunyai kesamaan dalam tokoh imajinasinya. Yang membuat syok adalah ketika ia membaca paragraph pertama hingga habis.

Hasrat Luca Campelli untuk meninggal dikelilingi oleh buku-buku kesayangannya terwujud pada suatu malam di bulan Oktober.

Ia merasa dibunuh oleh buku itu. Hingga sampai Luka merasakan ketidakbernapasnya ia. Luka menjadi sungguh takut. Menggigil ia dalam taman itu ditemani derit menyayat ayunan yang juga setia menopang berat tubuhnya.

^_^ ^_^ ^_^

Luka. Sebagaimana mahasiswa biasanya yang banyak dituntut untuk selalu membaca. Luka pun seperti itu. Hanya ia lebih menyukai fiksi ketimbang buku-buku materi yang sebenarnya menjadi lebih wajib untuk dibacanya. Tetapi, apa salahnya jika fiksi yang dibaca adalah fiksi yang juga ada sangkut-pautnya dengan jurusan yang ia ambil? Begitulah katanya jika ia ditanya segelintir orang yang kebetulan memperhatikannya.
Hari itu, kuliah pertama selesai tidak tepat waktu. Lebih cepat dari biasanya sang dosen hendak menguji skripsi mahasiswa yang sudah jenuh terus-menerus ada di kampus. Luka yang tak percaya akan adanya teman itu kini mulai mengambil Libri di Luca dari dalam tas sampingnya.
Dibukanya dengan hati-hati dan rasa takut mulai merambahi dirinya. Dipaksanya untuk membaca. Satu kata, lalu baris, lalu paragraph, hingga kemudian bab. Membaca dan membaca. Terus membaca. Hingga terasa sangat sulit untuk mengalihkan matanya dari rangkaian paragraph yang ada di depannya.
“Lukaaa….” Seseorang memanggilnya.
Terkejutlah Luka, dan segera menengok kearah datangnya suara. Nampak salah seorang teman sekelasnya tersenyum melepaskan senyum untuknya.
“Apakah akan membolos lagi? Kuliah berikutnya sudah akan dimulai. Aku tunggu di kelas ya. Jangan lupa, lantai 6” tambahnya.
Luka tersenyum. “Ya” jawabnya.
Seringkali Luka tak ikut kuliah, bukan karena malas, tapi karena membaca. Entah apa, tapi setiap kali Luka menbaca, ia akan terus membaca. Membaca dan membaca, sulit sekali menghentikan. Akan terhenti jika ada segelintir orang yang kebetulan memperhatikannya dan mengurnya. Seperti kali ini. Seperti tersihir. Luka belum mampu mengontrol dirinya.
Luka yang tak percaya teman, baru merasakan mempunyai teman jika berkutat dengan buku. Buku-buku Luka tak pernah meninggalkannya. Bahkan ketika Luka merasa kesepian, imajinasi tentang buku-bukunya selalu menemani. Seperti paranoid. Paranoid yang bahagia.
Semakin lama ia meruntuti cerita Libri di Luca, Luka seperti menemukan siapa dirinya. Kemudian bertanya-tanya. Mungkinkah ia juga merupakan salah seorang dari pecinta buku rahasia. Jika iya, kenapa selama ini tak pernah ada yang memberitahukan hal tersebut kepadanya? Kenyataan lebih kepada jawaban tidak untuk semua perntanyaannya.
Luka yang tak pernah percaya pada teman, menganggap hanya buku-bukunya yang setia. Kemudian teringat dengan Luca Campelli, dan berpikirlah ia. Akankah ia juga akan berhasrat untuk meninggal ditemani dengan buku-bukunya?
Tetapi bukankah semua buku ada karena untuk memperluas pengetahuan dan memperkaya imajinasi? Mana yang lebih baikkah, mati dengan banyak buku ataukah mati dengan berbagai pelajaran yang didapat dari buku?
Luka menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari berjalan menaiki tangga menuju ruang kuliahnya. Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja mengganggunya. Pertanyaan yang paling lama menggantung dalam pikirannya adalah benarkah kemampuan misterius para pecinta buku itu benar-benar ada? “Zaluka Hendri Setiawan” apakah masuk dalam daftar orang berkemampuan misterius?
Libri di Luca yang digenggam disamping tubuhnya, sedikit bersinar. Luka menatapnya. Dan ia tahu, Libri di Luca sedang tersenyum kepadanya.


Ngayojokarto
14MAR10_09.49

Jumat, 05 Maret 2010

Aktor Handal


-->

Aktor Handal

Cerpen : Uswatun Hasanah


“Kau boleh membawanya pergi, tapi sebelum itu langkahi dulu mayatku!!”. Kalimat ini terdengar begitu semangat diucapkan, walaupun hanya kudengar dari balik tembok.

Setelah itu yang terdengar hanyalah gedebak-gedebuk bantingan pada kasur empuk. juga diselingi dengan kata “ciatt!!” “hap” dan segala kata yang termasuk dalam perkataan pertarungan.

Sembari melipat-lipat baju yang sudah kering dari jemuran, aku terus memperhatikan suara-suara kecil bersemangat itu. Ketiga putraku sedang dalam penjiwaan seni peran yang dikaguminya. Serial laga.

Tidak jarang juga mereka menirukan kostum tokoh yang disukainya. Dari wiro Sableng, Si Buta dari Goa Hantu, sampai power rangers yang modern. Ada-ada saja akal mereka untuk mengkreativitaskan baju bekas. Aneh-aneh! Ada saja tingkah mereka yang bisa membuat perutku sakit karena tertawa terpingkal. Jika sudah seperti itu, satu atau dua dari mereka akan cemberut dan kemudian mencopoti kostum dan menghentikan aksi. Mungkin malu.

Karena tingkah mereka itu, akhir-akhir ini aku menjadi sering berkhayal. Menjadi orang tua aktor terkenal di seantero Negara. Dan tentunya terbebas dari kehidupan yang pas-pasan seperti ini.

Kasihan mereka, untuk melihat para idola beraksi, mereka harus ke tempat tetangga. Seringkali aku tak terkendali menghadapi kehidupan yang seperti ini. Sampai-sampai Tuhan pula ikut aku kutuk. Huh!

Semenjak tetangga depan membeli televisi bekas, putraku pun sering ke sana. Sepertinya tidak hanya buah hatiku saja, anak-anak lainpun ikut juga bergabung. Banyak sekali yang ditonton, dari kethoprak sampai sinetron, tak jarang juga sampai film-film luar negeri.

Semenjak itu pula ketiga putraku yang tak lebih berusia sebelas tahun ikut memperagakan apa yang mreeka lihat dan mereka sukai. Bermain peran. Dulu mulai dengan bermain raja dan prajurit, lalu guru dan murid, jadi chef, dan masih banyak yang lainnya juga. Dan aku hanya diam saja, menunggu kekayaan yang akan segera datang padaku..

Senyumku terkembang dengan megahnya.

Sore hari sepulang suamiku kerja membantu membuat rumah, aku mencoba mengutarakan keinginanku yang juga berpusat pada anak-anak.

“Pak, kan minggu ini bapak dapat gaji, ayuklah Pak kita beli tipi”, kataku merajuk.
“Tipi itu buat apa Bu, tidak akan membuat kita kenyang...”, jawab suamiku yang terkesan sekenanya.
“Ah bapak ini, kasihan itu anak-anak stiap hari mondar-mandir ke tetangga buat lihat tipi, kan gak enak juga pak sama tetangga. Nanti dikira memanfaatkan, tidak mau usaha..”, kuberikan alas an yang tiba-tiba terlintas begitu saja.

Suamiku masih terdiam dengan mata yang memperlihatkan kebingungan. Sementara putra-putraku muncul satu persatu, rupanya mereka mendengarkan pembicaraan kami.

“Iya Pak... Ayo beli tipi!”
“Kan bagus Pak, kita jadi tahu lebih banyak”.
“Iya Pak, beli tipi”.

Celoteh ketiga putraku membanjiri suasana. Aku hanya tersenyum saja sembari melihat raut muka suamiku.

Ia tersenyum lalu mengangkat si bungsu dan menggendongnya.

“Iya, nanti bapak belikan”.

Sorak soraipun terdengar, dan aku terbayang dengan kemewahan yang semakin dekat.

Benar saja, selang beberapa hari televisi bekas sudah bertengger di meja. Walaupun bekas, tetapi layarnya tidak dipenuhi semut berhamburan. Cukuplah untuk membuat kami puas.

Maka hari-haripun diwarnai dengan suara dari alat elektronik itu, tak lupa juga dengan ekspresi ketiga putraku. Dari melongo heran sampai kepingkal-pingkal. dan malam hari sebelum tidur mereka akan sedikit-sedikit meniru gaya aktris di televisi. Melihat merekapun seperti aku melihat TV. Yah... bagiku mereka adalah aktor-aktor terbaik yang pernah aku lihat. Apalagi ketika mendengar salah satu diantara mereka mengutarakan ingin jadi aktor. Rasanya bahagia hidup ini.

@@@ @@@ @@@

Malam itu seperti biasanya, sebelum tidur aku merapikan pekerjaanku yang belum selesai. Berharap besok pagi dapat merasa lebih tenang, tidak sibuk. Suamiku merokok di teras depan. Dan buah hatiku bermain seperti biasanya.

Dari tempat aku mencuci piring, terdengar mereka berbisik-bisik ria. Tak jarang juga mengalami perdebatan anak kecil. Setelah itu terdengar mereka meloncat-loncat sambil melemparkan sesuatu, entah apa. Kemudian mereka bersorak. Mungkin yang diharapkannya berhasil. Tak lama tak ada suara, lalu tiba-tiba seperti benda berat terjatuh. Terkaget!! Dan aku berdiri mematung, memikirkan apa yang sebenarnya mereka lakukan.

“Horeee!!! Kakak berhasil....”, teriak salah satu diantara mereka.

Fiuh... mendengar sorakan itu, aku lega. Lalu kuteruskan membilas piring yang telah kusabun.

Sambil bersorak sorai, putraku yang nomor dua dan tiga berlari ke arahku. Lalu menggenggam tanganku dan menariknya.

“Bu... lihat deh, kakak berhasil memerankan kayak di tipi-tipi”, kata Si Bungsu.
“Iya-iya, kalian memang hebat”, kataku sambil akan meraih piring lagi.
“Ah Ibu, ayo dong lihat, ini seru...!”, kata yang nomor dua dengan menarikku keras-keras.

Tak ayal, akupun berdiri dan mengikuti tarikan itu.

“Iya-iya sabar... memangnya kalian main apa to, kok begitu gembiranya”, kataku lagi sembari berjalan kea rah kamar anak-anak.
“Kita tadi main mati-matian Bu, hebatkan...”, kata Si Bungsu.

Nafasku terhenti. Saat itu pula aku telah sampai di pintu, dan kulihat si Sulung telah menggantung pada kain gendong yang dijeratkan pada kayu di atasnya. Matanya membuka. Darahku berdesir... Dan aku tak ingat lagi, hanya mendengar suara si Bungsu bersorak bahwa mereka berhasil memerankan peran itu.

( Pernah dikirim ke Minggu Pagi, tapi sayang sungguh sayang, tak masuk nominasi. ^-^)

Berkawan IT untuk Kemajuan

Judul                : Teknologi Informasi dan Fungsi Kepustakawanan Penulis              : Rhoni Rodin Penerbit            : Calpulis ...