Jumat, 28 November 2014

Kritikan ≠ Hinaan



Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun 2008 keberadaannya kini banyak mengundang pertanyaan. Pasalnya, UU ini bukannya melindungi seseorang tetapi justru memanen “korban”. Sudah banyak korban UU ITE yang terjerat hukum. Hal ini dapat dilihat dari semenjak kasusnya Prita Mulyasari sampai dengan kasus Ervani Emy Handayani.  Saya akan sedikit mengulas tentang kasus Ervani. Saya orang yang berdomisili di Bantul, jadi merasa sedikit gelisah ketika ada warga Bantul yang ikut terkena jerat hukum UU ITE ini. 

Harian Kedaulatan rakyat yang terbit Jumat Legi, 28 November 2014 kemarin menampilkan gambar utama yang menarik. Apakah itu? Sebuah foto yang memperlihatkan Ervani (korban) dan Diah Sarastuty (pelapor) saling berjabat tangan dan memaafkan. Ada sedikit senyuman dari keduanya. Nah jika berakhir kekeluargaan seperti itu, bukankah itu adalah sebuah akhir yang indah?

Pasal yang sering menjerat korban dalam UU ITE adalah pasal yang berbicara tentang pencemaran nama baik. Berbicara tentang pencemaran nama baik, sebenarnya pencemaran nama baik yang seperti apakah itu yang tergolong dalam jeratan UU ITE ini? Dari banyak kasus yang sudah terjadi ada bias makna antara kritikan dengan hinaan. 

Melihat dari pengkritik atau pengepost status. Kata-kata kritikan memang akan sangat terasa pedas jika tidak ditata sedemikian sehingga pembaca nyaman membacanya. Inilah yang menyebabkan kritikan tersebut terkesan menjadi hinaan ketika di baca. Kondisi si pengkritik juga memungkinkan ikut ambil bagian. Apabila kritikan tersebut ditulis/dipost ketika pengkritik sedang dalam keadaan emosi, maka emosi itu pun dapat merasuk dalam tulisan tersebut. OK bahwa kita harus mengkritisi suatu hal, tetapi dalam mengkritisi juga harus memperhatikan aspek-aspek  tertentu. 

Melihat dari si penerima kritikan. Seharusnya, penerima ini merasa bersyukur karena dengan adanya pengkritik ia menjadi lebih tahu bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. (Ada pepatah yang mengatakan bahwa untuk mengetahui kelemahanmu, kamu harus lebih mempercayai musuhmu daripada temanmu). Ketika ia membaca kritikan, sebaiknya ia memposisikan dirinya separuh sebagai si pengkritik dengan berbagai emosi yang dialaminya, dan sebagai dirinya penerima kritik yang bijaksana. 

Korban yangberjatuhan akan terhindari dengan perasaan saling mengerti satu sama lain. Selain itu juga perlu adanya norma, dan sopan santun dalam bergaul di masyarakat virtual. Peraturan perlu dibuat untuk meluruskan, bukan untuk dilanggar. Peraturan tidak tertulis juga mesti dijunjung tinggi. Orang Jawa bilang tentang unggah-ungguh yang diperlukan dalam bermasyarakat, tak terkecuali dalam masyarakat virtual.

Saya bersyukur pada Kasus Ervani mengenal perdamaian  (baca : saling memaafkan). Meski perdamaian tersebut dicapai dengan usaha melawan diri sendiri yang berego tinggi. Saya salut dengan kedua belah pihak yang mampu memutuskan untuk saling berdamai dan memaafkan. Dalam proses hukum yang berbelit-belit akan terasa ringan jika ada hubungan yang kekeluargaan. Bukankah hidup itu begitu Indah? Semoga kasus UU ITE ini cepat selesai. Yuppyyy,,, ini hanyalah opini saya, yang cinta akan perdamaian (Saya yakin saya pantas jadi personil Sailor Moon XD ) bagaimana dengan opini kamu? Saya yakin banyak yang berbeda, karena masalah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Peace,,,,  :D

Tidak ada komentar:

Berkawan IT untuk Kemajuan

Judul                : Teknologi Informasi dan Fungsi Kepustakawanan Penulis              : Rhoni Rodin Penerbit            : Calpulis ...