Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun 2008 keberadaannya kini banyak mengundang
pertanyaan. Pasalnya, UU ini bukannya melindungi seseorang tetapi justru
memanen “korban”. Sudah banyak korban UU ITE yang terjerat hukum. Hal ini dapat
dilihat dari semenjak kasusnya Prita Mulyasari sampai dengan kasus Ervani Emy
Handayani. Saya akan sedikit mengulas
tentang kasus Ervani. Saya orang yang berdomisili di Bantul, jadi merasa
sedikit gelisah ketika ada warga Bantul yang ikut terkena jerat hukum UU ITE
ini.
Harian Kedaulatan rakyat yang
terbit Jumat Legi, 28 November 2014 kemarin menampilkan gambar utama yang
menarik. Apakah itu? Sebuah foto yang memperlihatkan Ervani (korban) dan Diah Sarastuty
(pelapor) saling berjabat tangan dan memaafkan. Ada sedikit senyuman dari
keduanya. Nah jika berakhir kekeluargaan seperti itu, bukankah itu adalah
sebuah akhir yang indah?
Pasal yang sering menjerat korban
dalam UU ITE adalah pasal yang berbicara tentang pencemaran nama baik. Berbicara
tentang pencemaran nama baik, sebenarnya pencemaran nama baik yang seperti
apakah itu yang tergolong dalam jeratan UU ITE ini? Dari banyak kasus yang
sudah terjadi ada bias makna antara kritikan dengan hinaan.
Melihat dari pengkritik atau
pengepost status. Kata-kata kritikan memang akan sangat terasa pedas jika tidak
ditata sedemikian sehingga pembaca nyaman membacanya. Inilah yang menyebabkan
kritikan tersebut terkesan menjadi hinaan ketika di baca. Kondisi si pengkritik
juga memungkinkan ikut ambil bagian. Apabila kritikan tersebut ditulis/dipost
ketika pengkritik sedang dalam keadaan emosi, maka emosi itu pun dapat merasuk
dalam tulisan tersebut. OK bahwa kita harus mengkritisi suatu hal, tetapi dalam
mengkritisi juga harus memperhatikan aspek-aspek tertentu.
Melihat dari si penerima
kritikan. Seharusnya, penerima ini merasa bersyukur karena dengan adanya
pengkritik ia menjadi lebih tahu bahwa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. (Ada
pepatah yang mengatakan bahwa untuk mengetahui kelemahanmu, kamu harus lebih
mempercayai musuhmu daripada temanmu). Ketika ia membaca kritikan, sebaiknya ia
memposisikan dirinya separuh sebagai si pengkritik dengan berbagai emosi yang
dialaminya, dan sebagai dirinya penerima kritik yang bijaksana.
Korban yangberjatuhan akan
terhindari dengan perasaan saling mengerti satu sama lain. Selain itu juga
perlu adanya norma, dan sopan santun dalam bergaul di masyarakat virtual. Peraturan
perlu dibuat untuk meluruskan, bukan untuk dilanggar. Peraturan tidak tertulis
juga mesti dijunjung tinggi. Orang Jawa bilang tentang unggah-ungguh yang diperlukan dalam bermasyarakat, tak terkecuali
dalam masyarakat virtual.
Saya bersyukur pada Kasus Ervani mengenal perdamaian (baca : saling memaafkan). Meski perdamaian tersebut
dicapai dengan usaha melawan diri sendiri yang berego tinggi. Saya salut dengan kedua belah pihak
yang mampu memutuskan untuk saling berdamai dan memaafkan. Dalam proses hukum yang berbelit-belit akan terasa ringan jika ada hubungan yang kekeluargaan. Bukankah hidup itu
begitu Indah? Semoga kasus UU ITE ini cepat selesai. Yuppyyy,,, ini hanyalah opini saya, yang cinta akan perdamaian (Saya
yakin saya pantas jadi personil Sailor Moon XD ) bagaimana dengan opini kamu? Saya
yakin banyak yang berbeda, karena masalah dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang. Peace,,,, :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar