Sabtu, 13 Desember 2008

DIA

DIA

Aku masih saja menatapnya lekat. Tak peduli dengan salah tingkahnya. Bukankah itu hal yang lucu? Yang bisa membuatku tertawa di hadapannya. Setidaknya aku bisa membuat pipinya terlihat memerah dan mukanya yang cemberut karena jengkel melihatku tersenyum-senyum.
Dia kemudian menjadi sok sibuk, ngerjain inilah-itulah, pokoknya apa saja yang bisa menyembunyikan roman mukanya dari penglihatanku. Tapi aku tak semudah itu terjebak, aku tetap melihatnya sampai ia benar-benar tak tau lagi apa yang harus menjadi kesibukannya. Mungkin karena saking bingungnya, dia akhirnya balik menatapku.
“Mengapa masih saja melihatku?” katanya padaku dengan mukanya yang dibuat agak serius.
Hmmm... menurutku ini justru kesempatanku untuk menjurus ke arah matanya. Kutatap dia. Dan ketika aku melihat sedikit senyuman yang coba untuk di tutupinya, aku tak kuat lagi menahan. Aku tertawa agak tersengal. Dan dia pun ikut tertawa juga. Mungkin juga mentertawai cara tertawaku yang sudah agak kuno. Sudah aneh dan tak menarik. Tapi kenapa mesti tertawa? Bukankah dia sudah hafal dengan gaya tertawaku yang menjadi santapan tiap harinya?
Kubilang “ Dasar!”
“Tidak maukah bercerita?” tanyaku.
“Gak!” jawabnya dengan kejengkelan.
Hmmm... sabar... kataku dalam hati. Menghadapi anak yang sedang seperti ini aku mesti punya hati baja.
“Yakin?” aku kembali bertanya.
“Yakin!!!” jawabnya dengan sengol.
“Bagaimanapun juga sesuatu tentangmu dapat kuketahui dengan mudah. Aku mengetahui seluk beluk tentangmu, bagaimana perubahanmu dalam menuju kedewasaan ini. aku mengetahuinya dan bahkan aku bisa menjadi saksi. Jika kau ragu tentang dirimu dan keraguan itu kau tanyakan padaku, mungkin aku bisa menjawabnya. Percayalah... bahwa aku mengetahui banyak tentangmu dibandingkan engkau mengetahui dirimu sendiri” celotehku kepadanya.
“Ya..ya..ya terimakasih untuk nasehatnya, aku tahu siapa diriku, kuakui aku memang belum dewasa dalam hal ini. masih terlalu kekanak-kanakan dan mudah ditebak,,yakan?” katanya dengan sewot.
Aku tersenyum mendengarnya. Aku yakin, aku bisa memahami hatinya. Aku sadar, dia adalah lelaki yang berkepribadian. Dan sulit untuk menceritakan hatinya kecuali dengan sesamanya yang sebaya. Tidak denganku yang perempuan. Hmm,,, tapi apa salahnya? Akukan mengetahui semua tentangnya.
Oh ya! aku tahu bagaimana sifat seorang lelaki, setidaknya dia yang sekarang ada di hadapanku. Bagiku –yang mungkin dalam benak pikirannya- akulah yang terdekat dengannya. Terlalu kepedean tidak ya?
Tak apa. Bukankah itu malah akan membuat mukaku memerah dan kelihatan lebih muda? Hm..
“Jatuh cinta dengan yang lain?” aku memancing.
Waaahhh reaksi yang tidak kuharapkan, semula kukira ia akan berjingkrak kegirangan atau malah menyangkal pikiranku. Dia justru diam sejenak dan tak bergeming. Aneh bukan? Kemudian dia berbalik kearahku, dan dengan ekspresinya yang tanpa ekspresi dikatakannya sepatah kata ini “Entahlah...”.
Huuuh... apa yang harus aku lakukan? Aku menjadi bingung dengan jawabannya yang bagiku meragukan. Sepeti mengiyakan dan menidakkan. Sekecap kata itu membuatku tak dapat berucap lagi. Lidahku menjadi kaku untuk berkata.
“Bagaimana jika seandainya aku jatuh cinta lagi?”tanyanya dengan pandangan menerawang.
“Tak apa!” jawabku.
Dia mengerutkan dahinya. Memandang kearahku dengan roman muka yang terheran-heran.
“Tak apa?” tanyanya mengulang jawabanku.
“Yah tak apa, kenapa? Ada yang aneh? Manusia berhak mencintai dan dicintai bukan? Dan cinta itu datang tidak mengenal waktu, usia materi dan yang lain-lainnya.” Jelasku.
“Begitu? Kenapa bisa berkata seperti itu?’tanya kembali.
“Pertanyaan itu akan kujawab nanti setelah ini semua sudah selesai, OK?”kataku dan kemudian menynggingkan senyuman.
Sepertinya dia agak mencibir. Menyebalkan sih. Tapi tak apa. Setidaknya ini bisa membuatnya berfikir karena penasaran dngan perkataanku.
“Memang wajar kalau orang jatuh cinta, tapi aku merasa... ah! Sepertinya aku tak pantas lagi dicintai seseorang. Aku sudah terlalu membuat kecewa yang dahulu. Padahal dia sangat menyukaiku. Akunya saja yang terlalu bodoh! Hingga luka itu kutorehkan di hatinya. Tragis bukan?” dia mulai berbicara.
Kenapa dia memulai ceritanya? Itu pertanyaan yang ada dibenakku sekarang. apa dia memulai membuka hatinya padaku/ sepertinya pancinganku mendapatkan ikan...
“Kamu merasa bersalah padanya?” tanyaku.
“Ya pastillah!!” bentaknya.
o.oo aku sudah membuatnya emosi dengan pertanyaanku yang sudah tentu jawabannya. Tapi aku tahu, dalam hatinya dia tidak ingin lakukan itu, dan di pasti menyesalinya. Karena aku juga tidak seharusnya mendapatkan bentakan itu.
Keadaan menjadi hening. Aku menggeser dudukku dedikit ke kanan mendekati lengan kursi. Karena punggungku sudah terlalu capek untuk bersandar. Sedikit bersuara pelan.
Dia membuang nafasnya. Raut mukanya menjadi aneh.
“Maaf” katanya pelan.
Dan aku tersenyum menyambut kata itu.
“Tak apa, wajar..” kataku lembut.
Suasana kembali hening. Ruang tamu yang kecil ini sepert tak mampu mempertahankan kami. Almari yang besar dan penuh kaca itu memberitahukanku bagaimana kebingungannya orang yang ada di hadapanku. Matanya tak henti-hentinya mengarah ke bawah.
“Kenapa denganku? Kenapa aku masih saja kekanak-kanakan?” dia membuka pembicaraan.
“kau akan lebih merasa kekanakan lagi jika membandingkannya denganku” jawabku GR.
“Kembali ke permasalahnmu, kau menyukai seseorang dan kau merasa tak pantas menyukainya? Karena kau berfikir kau hanya akan memberikan kekecewaan kepadanya? Begitu?” tanyaku dengan seolah-olah bergaya seperti moderator.
“Ya” jawabnya dengan kabut kekecewaan.
Aku manggut-manggut mencoba memahami dan mencari solusinya.
“apa aku boleh menerima kasih sayang?’
“Kenapa tidak?”
Dia menatapku tajam. Seolah-olah dia tak setuju denganku. Apa aku telah salah berbucara?
“Gini, pertanyaan ini sungguh-sungguh ya! jadi di jawab dengan hati yang pada kenyataannya adalah rasa yang kau rasakan” kataku memecah ketegangan.
“Okey”
“Didalam hatimu ada cinta bukan? Dan kamu memulai usiamu dengan sebuah cinta untuk gadis yang engkau sukai, benar begitu?”
“Ya”
Aku menghela napas.
“Apa kau ingin jadikan ia sebagai ibu dari anak-anakmu kelak?” kataku agak serius.
Dia diam.
“Aku ingin ia jadi pendampingku yang abadi” katanya
“Kau yakin gadis itu jodohmu?” tanyaku kembali.
“Tuhan yang berkehendak, doakanlah aku, karena aku tahu, doa darimu pasti terkabulkan”
Amiiin...
“Bagaimana?’.....”pendapat” dahinya terkerut.
“Tak apa, aku dukung kok. Bagiku jika itu benar-benar cinta, suci, darimu dan darinya, tak ada yang memaksa untuk ‘tidak’!” kataku berceramah.
“Tak puas aku dengan jawaban itu” katanya sadis.
Aku menahan tawaku, dan sedikit kututupi mulutku dengan telapak tangan supaya tidak terlihat tertawa.
“Seriuuuuuuuussss” katanya pelan.
“Iya iya, yang penting jangan pernah sekali-kali menghianati perasaan hati ya, karena hanya diri yang akan sengsara. Tantangan paling sukar dalam hidup itu adalah mencari orang yang tahu segala kelemahanmu dan kekuranganmu, tapi ia masih sanggup menyayangi dan mencintai dengan sepenuh hati” begitulah kiranya aku berbicara.
Orang yang ada di hadapanku kini tersenyum.
“Aku heran, padahal kita tak sehati, tetapi kenapa (tangannya menunjuk kearahku) dapat mengetahui semuanya? Seolah olah sudah berpengalaman” dia mulai penasaran.
“Karena bagiku kamu itu masih anak-anak, sedangkan aku...” perkataanku terpotong.
“Yayaya aku tahu, tapi aku ingin jawaban yang serius. Kenapa dapat berkata seperti itu?” katanya dengan sepertiga roman penasaran sepertiga roman terheran heran dan sepertiga roman muka kebingungan.
Sebelum aku sempat menjawab, terdengar deru motor masuk ke teras depan. Aku tersenyum. Laki-laki yang menaiki motor itu membuka helmnya dan segera masuk ke tempat kami yang berpintu telah terbuka.
“assalamualaikum..” salamnya.
“Waalaikumsalam..” kami menjawab bersamaan.
Aku kemudian menjawab bersamaan, meraih tangannya dan segera mencium punggung tangan itu. Lalu aku berbalik ke arah oarang yang menjawab salam bersamaan denganku. Lalu...
“Aku dapat berkata seperti itu, karena aku juga juga pernah dicintai dan dicintai..” kataku dengan menatap laki-laki yang ada disampingku.
“Oalahh..sama ayah toh..’katanya dengan bibir yang mencibir.
Kami pun tertawa berbarengan... sedangkan suamiku masih kebingungan menghadapi kami.
Aku bergeleng-geleng menyebalkan...


Ngayojokarto
17F07_19.44

Tidak ada komentar:

Berkawan IT untuk Kemajuan

Judul                : Teknologi Informasi dan Fungsi Kepustakawanan Penulis              : Rhoni Rodin Penerbit            : Calpulis ...