Sabtu, 13 Desember 2008

SEBUAH KEBODOHAN

SEBUAH KEBODOHAN

 

Aku berjalan pulang dengan lunglainya. Kakiku teras berat untuk melangkah, alas kakiku seperti terbuat dari baja yang dipakai untuk maju perang. Sebuah buntalan di punggungku pun terasa lebih berat dari biasanya, sehingga aku tak mampu untuk berdiri tegap menatap lurus ke arah depan. Bahkan aku seperti orang bongkok yang lemah tak berdaya, menatap ke bawah ke tanah coklat yang secoklat kulitku. Mungkin juga itu sebuah isyarat untukku, pada diriku yang seperti bunglon, yang selalu berubah, tanpa punya pendirian yang tegas, tanpa mempunyai sebuah prinsip hidup yang pasti.
Pikiranku melayang, membayang mengikutiku di belakang. Terserap dalam bayang hitamku yang tercipta karena cahaya. Seharusnya pikiran dan hatiku menyatu dalam jiwa dan melahirkan sesuatu yang berharga bagiku, dan untuk orang lain. Tapi tidak! Ia terserap dalam bayang-bayang hitam yang kadang-kadang dekat, menjauh, dan bahkan hilang dariku. Seandainya cahaya itu berbaik hati padaku,,, sayang ia bukan milikku.
Aku masih tetap berjalan menuju rumah, entah jalan itu lurus ataukah membelok, yang kutahu hanya tanah coklat yang secoklat kulitku. Pintu yang kutuju belum terlihat juga. Ah! Apa aku berjalan selambat siput??
Kumasuki rumah ini, tentu dengan rasa yang lain dari biasanya. Bukan dengan keceriaan sambutan adikku yang meminta oleh-oleh, bukan dengan rasa lelah yang siap kutumpahkan pada televisi di ruang makan, bukan juga rasa kecewa yang siap tercurahkan pada orang terkasihku. Tapi dengan rasa takut, dengan air yang mengumpul di pelupuk. Meski begitu, meski dengan kepala tertunduk, kuulakan senyum seperti biasanya. Dan dari sudut pandang yang amat terbatas, kulihat dan kurasa sambutan yang masih seperti biasanya. Hanya tak ada semangat dalam sambutan itu. Fiuhh...
Aku sadar dimana letak kesalahanku. Yang tidak kutahu tentang diriku, meski aku sadar, aku slalu mengulang hal yang sma. Tidak hanya sekali bahkan, berulang-ulang malah. Dan itu kulakukan dengan mata yang benar-benar terbuka, pikiran yang benar-benar milikku, hanya tidak ada prinsip yang jelas.
Aku membuka pintu kamarku, terlihat masa laluku di kamar ini. ketika aku berusaha, berjuang untuk meraih apa yang kuimpikan, ketika aku menangis tersedu mengharap yang telah hilang akan segera kembali, ketika aku tertawa bersama saudara-saudaraku, setelah sang adik menangis karena perkelahian kami, dan.. ketika kakekku tersenyum sambil serius menghibur dan menasehatiku. Tentu saja dengan kebiasaannya, mengelus-elus telapak kaki. Sedikit sunggingan senyum kecewa terulas pasrah...
Di kasur yang tak lagi empuk ini aku merebahkan diri. Melihat ke langit-langit, ke arah genting yang dihiasi cawang dan sedikit sarang laba-laba. Kejenuhan, kehampaan, dan kekosongan juga ada di langit itu. Kupejamkan mataku, dan kegelapan itu semakin dekat kepadaku. Aku rasakan beban berat di hati, pikiran, masa depan dan cita.
Dalam keadaan seperti ini, aku tak selalu punya pikiran “Ayo! Sekarang kerjakan, untuk memulai dari awal dan menghasilkan yang baru”. Tidak! Yang terbesit hanyalah bayang masa lalu, bayang kebahagiaan yang sekarang berubah total.
Aku masih ingat ketika aku mempunyai konflik hati untuk pertama kalinya. Saat itu aku benar-benar hancur entah seperti apa. Kupikir sudah tidak ada lagi kepingan hati yang bisa kusulam. Hanya rasa sakit dan penyesalan yang tiada guna yang ada. Hanya tangisan yang menghibur. Ketika itulah aku bisa merasakan seorang beliau hadir mencoba menyelami diriku yang tidak stabil. Menasehatiku dengan senyumnya yang khas. Bahkan tertawa! Aku tahu maksudnya, supaya aku mengikutinya tertawa. Saat itulah aku baru benar-benar menyadari apa arti mereka ada untukku. Yang masih kuingat benar beliau pernah bilang seperti ini “Sebesar apapun masalah, sebesar apapun resiko, keluarga akan slalu ada untuk membantu”.
Bersitan saat-saat itu mengundang arus yang deras muncul di atas pipi. Setelah apa yang mereka berikan padaku, apa yang kuberikan pada mereka? Sebuah kekecewaan! Inilah beban beratku. Aku tak bisa penuhi kewajibanku untuk memberikan kebahagiaan dan kebanggaan.

##### ##### #####

Kemarin, ketika aku pulang, adalah hari terakhirku berguru ilmu kebanggaan dunia, ya! ilmu-ilmu yang dipelajari untuk mendapatkan angka pintar dan jenius. Dan hasilnya, sungguh membuatku membelalakkan mata dan berfikir “Sebegitu bodohnyakah aku?”. Terlebih lagi inilah yang membuatku tak berani menatap beliau yang telah sekian tahun banyaknya menyerahkanku di lembaga ini.
‘Kakek, maafkan aku’ itu yang selalu ingin aku ucapkan padanya. Tapi itu tidak mungkin, karena melihatnya aku sudah lemah, merasa bodoh, tak berguna.
Aku hanya memberikan kekecewaan yang teramat sangat. Meski hanya perasaanku yang mengatakan seperti itu. Aku di kembalikan lagi ke rumah ini, rumah yang telah lama kutinggalkan.

##### ##### #####

gelap dan terang sudah kurasakan di rumah ini. aku mencoba menghindari beliau. Sungguh aku merasa tidak pantas. Dalam perasaan yang seperti itu, aku masih melihat beliau berbincang dengan tetangga belakang rumah, ah... masih seperti kakekku yang dulu. Yang menasehatiku dengan mengelus-elus telapak kakinya.
Apakah ini hanya prasangka burukku terhadap beliau? Jika benar, sungguh berdosa diri ini. beliau pernah berkata ‘Ilmu tak diukur dengan nilai’. Beliau juga pernah berkata ‘Bagaimanapun juga kaulah harta berhargaku’. Lalu sebenarnya apa yang kutakutkan? Yang kucemaskan? Yang kurisaukan?
Justru itulah, aku merasakan memberikan beliau sebuah tamparan kekecewaan yang begitu hebat.
Bodohnya aku tak mengerti-mengerti!
Bodohnya aku tak paham-paham.

##### ##### #####

Dengan hati yang masih begitu banyak kegalauan, kericuhan, dan kegelapan yang lain. Aku berusaha mendekati beliau, memberikan pengabdianku, hormatku, setidaknya untuk memperbaiki dan mencoba dari asal kembali. Beliau sedang sibuk menuliskan sesuatu. Aku menghampirinya dan mencoba memancing-mancing pembicaraan.
Tidak lama, suasana mencair sudah. Tak kusadari, seorang kakekku banyak berbicara, bahkan kadang-kadang tertawa lepas menertawai apa yang beliau ceritakan sendiri. Aku hanya tersenyum, ada sedikit kelegaan di ulu hati. Semakin lama aku mendengarkan, sadarlah aku apa yang beliau perbincangkan. Sesekali dua kali kulemparkan pertanyaan, setidaknya untuk mengisyaratkan beliau bahwa cucunya ini nyambung dengan obrolannya.
Yang begitu mengejutkanku, ketika beliau mengatakan kabar gembira ini kepadaku. “Cucunya temannya kakek yang dulu sering main sama kamu, pagi tadi terbang ke luar negeri. Dapat tugas dari negeri”.
Aku tersenyum mendengarnya. Aku hanya dapat mengatakan “Oh ya, benarkah! Hebat ya!”. lalu aku beringsut dan segera berpamit tuk pergi sebentar ke luar rumah.
Jalan setapak di belakang rumah.
Aku berjalan saja menyusurinya. Mungkin itu tadi kabar gembira, tapi bagiku, kakek mengatakan seperti itu sama saja seperti mengatakan “Coba lihat dirimu, kenapa masih di sini?”. Tentu saja artinya sama. Bodoh! Kembali sudah aku merasakan kegetiran. Sama dengan perjalanan waktu aku pulang. Bahkan lebih dari saat itu. Karena aku mendengar dengan telingaku sendiri, bahkan tepat di hadapanku, dan itu adalah kakekku yang begitu ingin aku bahagiakan. Sedang apa yang terjadi padaku? Berjalan lamban tanpa arah pasti. Menyesali apa yang seharusnya tak disesali. Bukan berusaha hidup untuk menjadi yang lain, tapi hanya mengingat masa sinar yang sudah tak kutemui.
Biarlah orang bodoh ini berjalan. Biarlah orang bodoh ini mencari kebodohannya. Biarlah orang bodoh ini mencari apa yang sedang dicarinya. Biarkan!


Ngayojokarto
05JL07-19.55

Tidak ada komentar:

Berkawan IT untuk Kemajuan

Judul                : Teknologi Informasi dan Fungsi Kepustakawanan Penulis              : Rhoni Rodin Penerbit            : Calpulis ...