Jumat, 05 Maret 2010

Aktor Handal


-->

Aktor Handal

Cerpen : Uswatun Hasanah


“Kau boleh membawanya pergi, tapi sebelum itu langkahi dulu mayatku!!”. Kalimat ini terdengar begitu semangat diucapkan, walaupun hanya kudengar dari balik tembok.

Setelah itu yang terdengar hanyalah gedebak-gedebuk bantingan pada kasur empuk. juga diselingi dengan kata “ciatt!!” “hap” dan segala kata yang termasuk dalam perkataan pertarungan.

Sembari melipat-lipat baju yang sudah kering dari jemuran, aku terus memperhatikan suara-suara kecil bersemangat itu. Ketiga putraku sedang dalam penjiwaan seni peran yang dikaguminya. Serial laga.

Tidak jarang juga mereka menirukan kostum tokoh yang disukainya. Dari wiro Sableng, Si Buta dari Goa Hantu, sampai power rangers yang modern. Ada-ada saja akal mereka untuk mengkreativitaskan baju bekas. Aneh-aneh! Ada saja tingkah mereka yang bisa membuat perutku sakit karena tertawa terpingkal. Jika sudah seperti itu, satu atau dua dari mereka akan cemberut dan kemudian mencopoti kostum dan menghentikan aksi. Mungkin malu.

Karena tingkah mereka itu, akhir-akhir ini aku menjadi sering berkhayal. Menjadi orang tua aktor terkenal di seantero Negara. Dan tentunya terbebas dari kehidupan yang pas-pasan seperti ini.

Kasihan mereka, untuk melihat para idola beraksi, mereka harus ke tempat tetangga. Seringkali aku tak terkendali menghadapi kehidupan yang seperti ini. Sampai-sampai Tuhan pula ikut aku kutuk. Huh!

Semenjak tetangga depan membeli televisi bekas, putraku pun sering ke sana. Sepertinya tidak hanya buah hatiku saja, anak-anak lainpun ikut juga bergabung. Banyak sekali yang ditonton, dari kethoprak sampai sinetron, tak jarang juga sampai film-film luar negeri.

Semenjak itu pula ketiga putraku yang tak lebih berusia sebelas tahun ikut memperagakan apa yang mreeka lihat dan mereka sukai. Bermain peran. Dulu mulai dengan bermain raja dan prajurit, lalu guru dan murid, jadi chef, dan masih banyak yang lainnya juga. Dan aku hanya diam saja, menunggu kekayaan yang akan segera datang padaku..

Senyumku terkembang dengan megahnya.

Sore hari sepulang suamiku kerja membantu membuat rumah, aku mencoba mengutarakan keinginanku yang juga berpusat pada anak-anak.

“Pak, kan minggu ini bapak dapat gaji, ayuklah Pak kita beli tipi”, kataku merajuk.
“Tipi itu buat apa Bu, tidak akan membuat kita kenyang...”, jawab suamiku yang terkesan sekenanya.
“Ah bapak ini, kasihan itu anak-anak stiap hari mondar-mandir ke tetangga buat lihat tipi, kan gak enak juga pak sama tetangga. Nanti dikira memanfaatkan, tidak mau usaha..”, kuberikan alas an yang tiba-tiba terlintas begitu saja.

Suamiku masih terdiam dengan mata yang memperlihatkan kebingungan. Sementara putra-putraku muncul satu persatu, rupanya mereka mendengarkan pembicaraan kami.

“Iya Pak... Ayo beli tipi!”
“Kan bagus Pak, kita jadi tahu lebih banyak”.
“Iya Pak, beli tipi”.

Celoteh ketiga putraku membanjiri suasana. Aku hanya tersenyum saja sembari melihat raut muka suamiku.

Ia tersenyum lalu mengangkat si bungsu dan menggendongnya.

“Iya, nanti bapak belikan”.

Sorak soraipun terdengar, dan aku terbayang dengan kemewahan yang semakin dekat.

Benar saja, selang beberapa hari televisi bekas sudah bertengger di meja. Walaupun bekas, tetapi layarnya tidak dipenuhi semut berhamburan. Cukuplah untuk membuat kami puas.

Maka hari-haripun diwarnai dengan suara dari alat elektronik itu, tak lupa juga dengan ekspresi ketiga putraku. Dari melongo heran sampai kepingkal-pingkal. dan malam hari sebelum tidur mereka akan sedikit-sedikit meniru gaya aktris di televisi. Melihat merekapun seperti aku melihat TV. Yah... bagiku mereka adalah aktor-aktor terbaik yang pernah aku lihat. Apalagi ketika mendengar salah satu diantara mereka mengutarakan ingin jadi aktor. Rasanya bahagia hidup ini.

@@@ @@@ @@@

Malam itu seperti biasanya, sebelum tidur aku merapikan pekerjaanku yang belum selesai. Berharap besok pagi dapat merasa lebih tenang, tidak sibuk. Suamiku merokok di teras depan. Dan buah hatiku bermain seperti biasanya.

Dari tempat aku mencuci piring, terdengar mereka berbisik-bisik ria. Tak jarang juga mengalami perdebatan anak kecil. Setelah itu terdengar mereka meloncat-loncat sambil melemparkan sesuatu, entah apa. Kemudian mereka bersorak. Mungkin yang diharapkannya berhasil. Tak lama tak ada suara, lalu tiba-tiba seperti benda berat terjatuh. Terkaget!! Dan aku berdiri mematung, memikirkan apa yang sebenarnya mereka lakukan.

“Horeee!!! Kakak berhasil....”, teriak salah satu diantara mereka.

Fiuh... mendengar sorakan itu, aku lega. Lalu kuteruskan membilas piring yang telah kusabun.

Sambil bersorak sorai, putraku yang nomor dua dan tiga berlari ke arahku. Lalu menggenggam tanganku dan menariknya.

“Bu... lihat deh, kakak berhasil memerankan kayak di tipi-tipi”, kata Si Bungsu.
“Iya-iya, kalian memang hebat”, kataku sambil akan meraih piring lagi.
“Ah Ibu, ayo dong lihat, ini seru...!”, kata yang nomor dua dengan menarikku keras-keras.

Tak ayal, akupun berdiri dan mengikuti tarikan itu.

“Iya-iya sabar... memangnya kalian main apa to, kok begitu gembiranya”, kataku lagi sembari berjalan kea rah kamar anak-anak.
“Kita tadi main mati-matian Bu, hebatkan...”, kata Si Bungsu.

Nafasku terhenti. Saat itu pula aku telah sampai di pintu, dan kulihat si Sulung telah menggantung pada kain gendong yang dijeratkan pada kayu di atasnya. Matanya membuka. Darahku berdesir... Dan aku tak ingat lagi, hanya mendengar suara si Bungsu bersorak bahwa mereka berhasil memerankan peran itu.

( Pernah dikirim ke Minggu Pagi, tapi sayang sungguh sayang, tak masuk nominasi. ^-^)

Tidak ada komentar:

Berkawan IT untuk Kemajuan

Judul                : Teknologi Informasi dan Fungsi Kepustakawanan Penulis              : Rhoni Rodin Penerbit            : Calpulis ...