Kamis, 18 Maret 2010

Betul - Betul - Betul


--> --> --> -->

Betul – Betul – Betul

Cerpen : Uswatun Hasanah

Pada dasarnya aku bukanlah seorang yang pemarah, cuma kadang … emosian, itupun hanya sedikit. Aku juga bukanlah seorang yang begitu kejam, melainkan penyayang anak-anak. Maklumlah dua adikku yang kecil-kecil menuntutku untuk selalu mengalahkan diri sendiri.
Yang menjadikanku tidak habis pikir, adalah ketika anak-anak memanggilku…
“Kak Roooooos……” Nah Lo.
Aku mendesah di belakang meja. Telingaku sudah cukup sebal mendengar panggilan yang bukan namaku namun dipanggilkan untukku. Dasar anak-anak, harus bagaimana aku menanggapinya.
“Kak Ros, gak bisa gambar pohon, dicontohin dulu...” rengek Mira, muridku yang paling manja.
Berjalan aku ke arah blackboard dan mulai menggambarkan sebatang pohon yang begitu sangat simpel. Menjelaskannya sebentar dan memberikan tambahan gambar yang berhubungan dengan lingkungan manusia.
“Jika sudah selesai, langsung dikumpulkan ke depan ya” kataku pada keduapuluh muridku.
Baik cek_gu! Itulah jawaban mereka serempak.
Demam Upin-Ipin menjadi sungguh ngetrend dikalangan anak TK. Dibawah TK malah. Heran, kenapa stasiun TV tidak mengetrendkan serial kartun milik negeri sendiri. Malah membiarkan calon pemimpin bangsa mengetrendkan produk Negara lain. Tak lain juga diriku, yang begitu mengidolakan Jepang.
Baru seminggu diriku mendapatkan tugas mengampu TK. Mendampingi mereka menggambar dan mewarnai. Memang tidak begitu melenceng dari yang selama tujuh tahun kupelajari. Tiga tahun di SMA khusus seni rupa, dan empat tahun mengambil jurusan menggambar di perguruan tinggi. Tetapi, apakah harus terdampar di dunia TK?
Tak kubayangkan sebelumnya akan menghadapi anak-anak yang begitu mudahnya menangis. Cita-citaku adalah menjadi seorang pelukis terkenal sekelas Affandi dan akan memarkenkan lukisanku di sebuah bangunan khusus. Seperti Affandi, seperti Affandi, dan seperti Affandi. Itu jika sisi nasionalismeku sedang bergairah untuk memunculkan diri. Jika sedang kontra, cita-citaku adalah menjadi komikus terkenal sekelas Aoyama Gosho, Masashi Kishimoto, atau Hiroyuki Takei dengan Saman King-nya. Tapi memang sangat sulit menciptakan karakter baru yang akan bisa disukai bangsa sendiri dan bakal ngetrend sampai keluar negeri.
“Kak Ros, ini gambar Lina ya” katanya sambil tersenyum semanis-manisnya.
Aku membalasnya dengan mengelus rambutnya yang sedikit. Teman-temannya kemudian saling berlomba cepat-cepatan mengumpulkan gambar. Sungguh lucu tingkahnya. Senang melihatnya, tapi sebal jika memikirkan takdirku yang terdampar di TK. Terlebih dengan mendengar kata “Kak Ros” setiap hari.
Semua ini berawal ketika aku sendiri dengan senang hati berkenalan dengan para anak TK ini. Karena ingin lebih akrab, kurelakan diri ini bercerita tentang pribadi, teman, hobi, dan lain-lain. Ketika menceritakan tentang anggota keluarga, dan mengatakan punya dua adik laki-laki, anak kecil di tengah langsung berdiri dan mengatakan “Kak Ros” dengan begitu kerasnya. Teman-temannya melihat ke arahnya. Dan akhirnya? Berlanjut hingga sekarang inilah. Nama keren dan baik pemberian orang tua tak lagi berlaku disini.
Aku pulang dengan membawa keduapuluh gambar milik anak-anak.

&&& &&& &&&

Kak Ros yang merupakan kakak Upin dan Ipin dalam pikiranku adalah kakak yang ditakuti oleh adik-adiknya karena suka marah. Yang menjadi beban psikologiku adalah sebuah pertanyaan apakah aku juga mempunyai persamaan karakter dengan Kak Rosnya Upin Ipin? Padahal aku menghadapi anak TK, dituntut sabar dan menyenangkan. Ah, heran.
Sore ini aku tertidur dengan pikiran aneh dan sayup-sayup mendengar percakapan Upin dan Ipin di televisi yang tengah ditonton adik-adikku. Gambar-gambar yang baru saja kuperhatikan satu persatu tertmpuk dipinggir kepalaku.

&&& &&& &&&

“Selamat pagi anak-anak” sapaku pada mereka.
“Selamat pagi Bu Kak Ros” jawab mereka.
Aku mencoba menahan tawa. Lucu sekali. Cobalah bayangkan dan dengarkan dengan seksama. Itulah anak-anak.
“Hayo… panggil dengan nama yang benar. Bu Mina” kataku menanggapi.
“Selamat pagi Bu Mina” kata mereka serempak.
“Bagus… Rasanya ibu lebih senang kalo dipanggil Bu Mina” tambahku dengan gaya men-dolan-i anak-anak. Gayaku yang kekanak-kanakan sepertinya memang cocok.
Kuberikan kertas gambar berukuran setengahnya A4. Dan kubebaskan anak-anak berekspresi. Terserah mereka akan menggambar apa. Seni menggoreskan pensil akan tampak lebih indah jika pikiran senang.
Hari ini anak-anak tak banyak memanggilku, mungkin susah mengubah lidah dari Kak Ros menjadi Bu Mina.

&&& &&& &&&

Hatiku bersorak gembira bukan kepalang. Aku mendapatkan pekerjaan baru yang lebih menantang. Lebih membakar jiwa seniku. Menjadi pendesain gambar untuk kain yang akan di produksi.
Seminnggu ini aku telah absent di TK untuk pembekalan pekerjaan di pabrik. Rasanya kegiatanku tak surut-surut. Mungkin inilah yang dinamakan api semangat. Aneh juga rasanya, ketika di sela-sela kesibukan itu tidak mendengar ocehan anak-anak tentang Kak Ros dan Bu Mina. Mungkin inilah yang dinamakan kangen.
Hari ini kusempatkan datang ke TK, sekedar menengok keadaan. Hari berlatih drum band dan tentu saja memakai pakaian bebas. Mataku berkedip-kedip ketika melihat sebagian besar kaos yang mereka kenakan adalah bergambar Upin Ipin. Rasanya seperti bertemu keluarga. Aneh memang.
        Aku duduk saja memperhatikan. Bukan ahlinya. Tak bisa berbuat sesuatu. Seorang anak melihatku, dan entah secara otomatis atau tidak mulutnya mengucapkan kata “Kak Ros”. Anak-anak yang lain melihat kearahnya dan kemudian melihatku. Kulambaikan tanganku.
Ada satu hari dari enam hari untukku libur di pabrik. Hari itulah aku menjadi guru gambar di TK.
“Kak Ros, gambar ini udah betul belum?” Tanya Sita murid yang paling susah menggambar.
“Betul-betul-betul” jawabku.
Sepertinya akupun sudah terjangkit demam Upin dan Ipin.

Ngayojokarto
18MAR10_23.13

Tidak ada komentar:

Berkawan IT untuk Kemajuan

Judul                : Teknologi Informasi dan Fungsi Kepustakawanan Penulis              : Rhoni Rodin Penerbit            : Calpulis ...